Asar Humanity

22 Jun 2023 11:23

Share

Pengungsi Palestina di Kamp Burj Barajneh Libanon Hadapi Impitan Kemiskinan

AsarNews, Libanon - Kamp Burj El-Barajneh didirikan pada tahun 1948 untuk menampung pengungsi yang melarikan diri dari Galilea, di utara Palestina. Sekarang menjadi kamp yang paling padat penduduknya di dekat ibu kota Lebanon, Beirut, menurut Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB ( UNRWA ), yang bertanggung jawab atas pengungsi Palestina. 

Burj El-Barajneh memiliki tujuh sekolah, satu pusat kesehatan, dan lebih dari 17.945 pengungsi terdaftar yang hidup dalam kondisi yang sangat sulit. Kamp tersebut juga sangat menderita selama Perang Saudara Lebanon tahun 1970-an dan 1980-an, dengan properti rusak dan banyak orang mengungsi sekali lagi.

Terletak di timur pantai Laut Mediterania, Libanon merupakan sebuah negara yang memiliki lokasi strategis sebagai titik temu antar berbagai negara Arab. Negara ini berbatasan dengan Palestina dan Suriah yang memiliki sejarah panjang penjajahan, konflik dan perebutan wilayah, sehingga Libanon menjadi salah satu destinasi utama tujuan pengungsi.

Refugees Camp Burj El Barajneh for Palestinians

Saat ini Libanon merupakan negara dengan jumlah pengungsi per kapita dan per kilometer persegi terbesar di dunia. Jumlah pengungsi di Libanon diperkirakan mencapai 6,8 juta orang, yang merupakan 25 persen dari jumlah populasi negara itu.

Perpindahan pengungsi Palestina ke Libanon telah berlangsung sejak lama. Sejarah mencatat bahwa perpindahan awal terbesar terjadi saat  peristiwa Nakba 1948. Saat itu, sekitar 750,000 orang Palestina terusir dari rumah mereka dan menjadi pengungsi. Adapun 100,000 orang (14%) di antaranya mengungsi ke Libanon, kebanyakan dari wilayah Acre dan Haifa yang terletak di utara Palestina, akibat dari pembantaian Zionis yang terjadi di daerah tersebut.

Di Libanon, pengungsi Palestina telah mencapai titik terendah, mencapai titik tanpa harapan. Kemiskinan, pengangguran dan keputusasaan berada dalam dosis tinggi di seluruh negeri, sangat memukul rakyat Lebanon, pengungsi Suriah dan Palestina. 

pembagian pangan kepada anak-anak di palestina

Hal ini terjadi di tengah salah satu krisis ekonomi terburuk dalam sejarah baru-baru ini, diperparah oleh ledakan Beirut pada tahun 2020, pandemi COVID-19, tata kelola yang buruk, dan layanan dasar yang hampir runtuh total. Pengungsi Palestina, yang tinggal di kamp-kamp yang penuh sesak, secara historis merupakan salah satu orang termiskin di negara itu. Mereka berada di ujung tali. 

Menurut Laporan Pemantauan Krisis UNRWA terbaru tentang Situasi Sosial Ekonomi Pengungsi Palestina di Lebanon, 93 persen dari semua pengungsi Palestina di Lebanon hidup dalam kemiskinan. Sementara UNRWA telah membantu, memberikan bantuan tunai dan layanan dasar lainnya, bantuan kami hanyalah setetes air di lautan keputusasaan.

households and poverty in lebanon
Data rumah tangga yang mengalami kemiskinan multidimensi dan kemiskinan multidimensi ekstrim menurut ESCWA.
Peta-Kamp-Pengungsian-Palestina-di-Libanon

Pada dasarnya, Libanon sama sekali bukan negara yang ideal untuk ditinggali ataupun didatangi bagi mereka yang mencari peluang baru untuk hidup. Masyarakat di Libanon telah mengalami kondisi yang buruk dengan angka kemiskinan yang tinggi. Sebanyak 53,1% dari populasi Libanon tergolong miskin secara multi dimensi, sementara 16,2% populasi tergolong dalam kemiskinan ekstrim. Data ini berdasarkan survei pada 2018-2019 yang mengambil lima dimensi, yaitu: pendidikan, kesehatan, keamanan, keuangan, infrastruktur dan standar hidup mendasar.

Badan pengungsi PBB untuk Palestina, UNRWA, mendefinisikan pengungsi Palestina sebagai “orang-orang yang tempat tinggal normalnya adalah Palestina selama periode 1 Juni 1946 hingga 15 Mei 1948, dan yang kehilangan rumah dan mata pencaharian sebagai akibat dari konflik 1948.  Menurut hukum internasional, pengungsi Palestina memiliki hak untuk dapat kembali ke rumah asal mereka.

Untuk itu, PBB mendirikan sebuah badan yaitu United Nations Conciliation Commission for Palestine (UNCCP) yang mendapatkan mandat untuk merealisasikan hak kembali rakyat Palestina. Meski demikian, UNCCP tidak pernah berhasil mewujudkan tugas itu. Hingga saat ini, lebih dari 75 tahun lepas Nakbah, para pengungsi Palestina belum mendapatkan hak mereka untuk kembali.

Camp-Burj-El-Barajneh-Lebanon-Cable-Shoot

Menurut Catatan resmi UNRWA, pengungsi Palestina di Libanon berjumlah lebih dari 479.000 orang. Mereka tersebar di 12 kamp pengungsian yang menampung sekitar 45% pengungsi yang ada di Libanon. Kondisi kamp-kamp pengungsian di Libanon cukup mengerikan, yaitu ditandai dengan kepadatan penduduk, kondisi perumahan yang buruk, pengangguran, kemiskinan dan kurangnya akses terhadap hak dan keadilan karena tidak memiliki status sebagai warga negara.

Laporan “Lebanon 2021 Multi-Sector Needs Assessment (MSNA)” menemukan bahwa pengungsi Palestina di Libanon merupakan kelompok yang menghadapi kerentanan hidup yang paling kritis. Sebanyak 59% pengungsi Palestina melaporkan pendapatan per bulan kurang dari 2,4 juta LBP (Libanon Pound) atau kurang dari 109 USD. Persentase ini diikuti oleh imigran lain, yaitu sebanyak 51% kemudian warga negara Libanon sebanyak 44% yang memiliki tingkat pendapatan yang sama.

Burj-Al-Barajneh11

Pada akhirnya, keterbatasan akses ke mata pencaharian dan kerentanan ekonomi memberikan dampak yang cukup besar pada ketahanan pangan rumah tangga. Hasil MSNA menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga tidak memiliki akses terhadap pangan yang cukup. Selain itu, pengurangan pasokan gandum akibat krisis Ukraina, dan inflasi yang terus melaju saat ini membawa pada kemungkinan lebih lanjut peningkatan kerentanan pangan rumah tangga di Libanon.